Rabu, 27 Oktober 2010

Laksana Setetes Air di Samudra

Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Kelezatan
mengikuti rasa cinta. Ia akan
menguat mengikuti
menguatnya cinta dan
melemah pula seiring dengan
melemahnya cinta. Setiap
kali keinginan terhadap al-
mahbub (sosok yang dicintai)
serta kerinduan kepadanya
menguat maka semakin
sempurna pula kelezatan
yang akan dirasakan tatkala
sampai kepada tujuannya
tersebut. Sementara rasa
cinta dan kerinduan itu
sangat tergantung kepada
ma ’rifah/pengenalan dan
ilmu tentang sosok yang
dicintai. Setiap kali ilmu yang
dimiliki tentangnya
bertambah sempurna maka
niscaya kecintaan
kepadanya pun semakin
sempurna. Apabila
kenikmatan yang sempurna
di akherat serta kelezatan
yang sempurna berporos
kepada ilmu dan kecintaan,
maka itu artinya barangsiapa
yang lebih dalam
pengenalannya dalam
beriman kepada Allah, nama-
nama, sifat-sifat-Nya serta -
betul-betul meyakini-
agama-Nya niscaya
kelezatan yang akan dia
rasakan tatkala berjumpa,
bercengkerama, memandang
wajah-Nya dan mendengar
ucapan-ucapan-Nya juga
semakin sempurna. Adapun
segala kelezatan,
kenikmatan, kegembiraan,
dan kesenangan -duniawi
yang dirasakan oleh
manusia- apabila
dibandingkan dengan itu
semua laksana setetes air di
tengah-tengah samudera.
Oleh sebab itu, bagaimana
mungkin orang yang berakal
lebih mengutamakan
kelezatan yang amat sedikit
dan sebentar bahkan
tercampur dengan berbagai
rasa sakit di atas kelezatan
yang maha agung, terus-
menerus dan abadi.
Kesempurnaan seorang
hamba sangat tergantung
pada dua buah kekuatan ini;
kekuatan ilmu dan rasa cinta.
Ilmu yang paling utama
adalah ilmu tentang Allah,
sedangkan kecintaan yang
paling tinggi adalah
kecintaan kepada-Nya.
Sementara itu kelezatan
yang paling sempurna akan
bisa digapai berbanding lurus
dengan dua hal ini [ilmu dan
cinta], Allahul
musta ’aan.” (al-
Fawa’id, hal. 52)
Dari ucapan beliau ini, kita
dapat mengetahui betapa
besar peran ilmu tentang
Allah dalam membentuk jati
diri seorang muslim. Karena
seorang muslim yang ideal
adalah yang senantiasa
mendahulukan kecintaan
kepada Allah dan rasul-Nya di
atas segalanya. Sosok
muslim seperti itulah yang
dikabarkan akan bisa
mengecap manisnya iman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Ada
tiga perkara, barangsiapa
memilikinya maka dia akan
merasakan manisnya
iman …” Di antaranya,
“Allah dan rasul-Nya lebih
dicintainya daripada segala
sesuatu selain
keduanya. ” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Para ulama menafsirkan
bahwa yang dimaksud
lezatnya iman ini antara lain
adalah berupa kenikmatan
yang dirasakan ketika
menjalani ketaatan. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga menggambarkan
bahwa sosok manusia yang
mampu mencapat derajat
manisnya iman ini adalah
orang yang di dalam hatinya
tidak menyimpan perasaan
tidak suka dan benci kepada
agama yang suci ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Akan
bisa merasakan lezatnya
iman orang-orang yang ridha
kepada Rabbnya, ridha Islam
sebagai agamanya, dan
Muhammad sebagai
rasul. ” (HR. Muslim).
Ketiga hal inilah -
sebagaimana diungkapkan
oleh Syaikh Ibrahim ar-
Ruhaili hafizhahullah-
merupakan pokok-pokok
ajaran agama. Ini artinya,
bangunan agama yang ada
pada diri seseorang akan
menjadi kuat atau lemah
tergantung kepada ilmu
tentang ketiganya; mengenal
Allah, mengenal agama Islam
dan mengenal Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Maka wajarlah,
apabila Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab
rahimahullah kemudian
menulis sebuah risalah kecil
‘ Tsalatsatul Ushul’ untuk
mengenalkan pokok-pokok
yang agung ini kepada
segenap kaum muslimin.
Hal ini menunjukkan kepada
kita bagaimana para ulama
salaf sedemikian mengenal
karakter jiwa dan perangai
manusia. Mereka itu -
sebagaimana digambarkan
oleh Imam Ahmad di dalam
mukadimah kitabnya ar-
Radd ‘alal Jahmiyah dan
dinukil oleh Syaikh Shalih al-
Fauzan dalam Kitab
Tauhidnya- merupakan
sosok ‘pahlawan’ yang
telah menghidupkan hati-
hati manusia yang telah
binasa dan terjajah oleh Iblis
melalui ayat-ayat Kitabullah
yang mereka baca dan
mereka terangkan isinya
kepada umat manusia.
Sehingga hati manusia yang
sebelumnya gersang, tandus
dan kering kerontang pun
tersirami dengan tetes demi
tetes bimbingan wahyu ilahi
sehingga memunculkan
tanda-tanda kehidupan
kembali …
Penulis: Abu Mushlih Ari
Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar